Sabtu, 21 Mei 2011

Snow White

Yah.. Daripada ga ada yang diposting, 2 cerita udah gw suguhkan buat pembaca. Kalo mungkin ngerasa kurang atau apa.. mungkin 1 cerita lagi bisa mengobati  atau kalo gak suka sama cerita ini bisa langsung close aja kok *merajuk* *nangis* Oke! Gak usah terlalu lama bermastur <---- Ralat! Berbasabasi, langsung aja! Kalo gak ngerti gapapa kok. Aku juga.


SNOW FUCKIN' WHITE



Pada suatu hari ketika musim salju, seorang ratu sedang menjahit dan tanpa sengaja jarinya terkena jarum dan berdarah.“Yee, orang aku pakai mesin jahit kok…”

Tiba-tiba mesin jahitnya meledak! Bunyinya BUM! Ruangan sang ratu menjahit hancur berkeping-keping, mesin jahit itu hancur lebur, ruangan-ruangan di sebelahnya rusak parah, saluran listrik, air, gas, telpon, internet, satelit, dan eee… sambungan telpon dengan benang, semuanya nonaktif. Bisa dibayangkan dong gimana keadaan sang ratu… Jari sang ratu terkena jarum dan berdarah.

Sang ratu melihat tetesan darah yang terjatuh di atas salju putih.
“Seandainya saja aku memiliki anak perempuan yang seputih salju, semerah darah, dan sehitam bingkai jendela itu.”

Disana nggak ada bingkai jendela, sungguh.
Beberapa tahun kemudian sang ratu melahirkan anak perempuan yang sesuai keinginannya. Kulitnya hitam, matanya merah, dan rambutnya putih.

Sang ratu nggak ingin anak seperti itu, jadi kelahiran anaknya tadi dibatalkan. Kemudian ia menggambarkan gambar anak yang diinginkannya, berkulit putih kemerahan dan berambut hitam seperti bingkai jendela itu.

Bingkai jendela yang mana sih?
Sang ratu kemudian menyerahkan draft itu ke desainer dan kemudian desainer menyerahkan pada dokter. Sang ratu melahirkan anak sesuai keinginannya, dan anak itu dinamai Snow White. Tidak lama kemudian sang ratu meninggal, kematiannya dimungkinkan karena keracunan, sebab ditemukan zat pewarna putih, hitam, dan merah di rahimnya. Hitamnya seperti bingkai jendela itu.

Bingkai yang di dekat vas itu bukan?
Sang raja yang mengetahui kematian istri yang sangat dicintainya sepenuh hati shock berat, karena itulah ia menikah lagi dengan wanita cantik yang ia pilih dari seluruh penjuru dunia, saking shocknya.
Meskipun cantik, wanita itu agak aneh. Ia sering bicara sendiri dengan cermin, padahal di kerajaan nggak ada cermin. Karena itu ia mendatangi toko cermin.
“Mas, ada cermin yang enak diajak omong nggak?”
Penjual cermin berpikir, dia ini pasti ratu talking-to-mirror-mirror-hanging-on-the-wall-you-do-not-have-to-tell-me-who-is-the-biggest-fool-of-all yang dinikahi raja. Tapi bagaimanapun juga ia sangat menghormati raja.
“Hei, ratu bodoh! Kalau mau cermin ke belakang sana! Apa?! Gitu aja minta diantar?! Manja!”
Ratu sangat terkejut, ia menangis…
“Ternyata ada juga yang tahu kalau aku ini bodoh, aku sangat terharu…”
Ratu baru itu kemudian tiba di ruangan penuh cermin. Ia mengajak salah satu cermin bicara.
“Cermin-cermin di dinding, siapakah gadis yang paling cantik?”
Cermin itu kemudian menjawab.
“Hei, siapa yang kamu maksud? Aku?”
“Yaaa… Iyalaaah…”
“Kalau gitu jangan pakai jamak, dasar ratu bodoh!”
“Wah kamu juga tahu kalau aku bodoh! (senang) Baiklah, cermin di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”
“Tergantung…”
“Tergantung?”
“Kamu sudah melakukan hal itu dengan raja belum?”
“Hal itu? Hal yang… Itu? I… tu… Eh, gimana yaaa… Belum…”
“Heh (menyindir), dasar anak-anak.”
“Apa maksudmu?!”
“Kamu nggak tahu ya? Aku dengan istriku sudah melakukan itu puluhan kali.”
“Puluhan kali? Melakukan apa? Gimana?”
“Sudah ah, aku nggak mau menanggapi anak kecil. Bye.”
“…”
Ratu baru itu masih agak bingung. Ia pun memilih cermin lain.
“Cermin, apakah aku paling cantik?”
“Tidak.”
“Apa aku cantik?”
“Tidak.”
“Apa aku cantik?!”
“Tidak.”
“Apa kamu bisa berbicara yang lain selain tidak?!”
“Coba lagi.”
“Apa aku cantik?”
“Tidak.”
“…”
Ratu itu merasa pernah melihat hal yang sama di acara televisi kerajaan.
Ratu itu pun pasrah dan meninggalkan toko. Seketika ia kembali ia dibelikan cermin oleh raja. Ia senang dan mulai mengajak cermin itu bicara.
“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”
“Thou, O Queen, art the fairiest of all!”
Ratu itu tidak tahu bahasa asing, tapi ia sangat senang karena ia baru kali ini mendengar cermin berbicara. Raja yang mengetahui itupun jadi senang.
“Ternyata ia memang suka dengan cermin talking-only-thou-punctuation-o-queen-punctuation-art-the-fairiest-of-all-exclamation yang kubelikan.”
Tetapi hal itu tidak lama, tujuh tahun setelah itu (itu lama yo…) Snow White telah menjadi gadis kecil yang cantik. Kulitnya yang putih kemerahan menjadi sangat indah, dan rambutnya yang hitam menjadi sangat menyerupai bingkai jendela itu.

Kalau bukan yang di dekat vas berarti yang mana?
Ketika ratu baru (sudah tujuh tahun, sudah lama berarti) itu mencoba berkata pada cermin, ia terkejut.
“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”
“Thou art fairer than all who are here, Lady Queen. But more beautiful still is Snow-white, as I ween.”
“Apa?! Mengapa bicaramu berganti jadi panjang? Pendek aja aku nggak ngerti!”
Raja yang mengetahui hal itu cukup kecewa juga.
“Kenapa ia tidak suka dengan cermin talking-only-thou-art-fairier-than-all-who-are-here-punctuation-lady-queen-full-stop-but-more-beautiful-still-is-sno-white-punctuation-as-i-ween-full-stop yang baru? Padahal cermin itu lebih mahal?”
Ratu menjadi marah kepada Snow White karena namanya disebut di cermin. Ia pun menyuruh assasin untuk membunuh Snow White dan membawa hatinya sebagai bukti.
“Hei, ass! bunuh Snow White dan bawa kesini hatinya.”
“Kok aku dipanggil ass, sih? Ya udah, nggak papa, nggak ada yang senang kalau aku hidup.”
Assasin itu pergi dengan langkah lemas.
Tidak butuh waktu lama untuk assasin menemukan Snow White, Snow White berada di depan pintu kamar ratu.
“Hai, asin! Mau nemuin mama ya?”
“Mengapa sekarang aku dipanggil asin? Nasibku…”
“Kenapa, asin?”
“Nggak papa, kalau gitu aku nemuin mamamu dulu ya…”
“Oke deh kalau gitu…”
Assasin kembali ke kamar ratu.
“Ratu mencari saya? Atau saya mencari ratu?”
“Lho, udah kembali kamu. Gimana ass? Udah dapet hatinya Snow White?”
“Eh, hati? Hati… Oh! Err… Anu…”
“Wow! Apakah bola yang kamu pegang itu hatinya Snow White? Bagus sekali kerjamu. Nanti bayarannya kukirim ke rekeningmu.”
Assasin itu heran juga, ratu kan tahu kalau ini bola? Tapi nggak papa lah, setidaknya ia nggak jadi membunuh seseorang, ia takut dosa.
Tiba-tiba Snow White masuk kamar ratu.
“Mama, Snow White mau main dulu ya…”
“Baiklah, Snow. Hati-hati ya…”
“Dah mama…”
“Dah Snow…”
Assasin yang melihat itu heran, kayaknya ada sesuatu yang… Sudahlah.



Kok habis?
Lho, katanya sudahlah, ya sudah, sudah habis.

Yaaa… Nggak bisa gitu lah.
Kemudian Snow White yang kesepian di hutan kebingungan.
Kok Snow White bisa di hutan? Sebelumnya dia kan di istana?

Kemudian Snow White yang kesepian di istana kebingungan.
DI istana kok kesepian? Ramai ah.

Kemudian Snow White yang tidak kesepian di istana kebingungan.
Nggak kesepian kok kebingungan?

Kemudian Snow White yang tidak kesepian di istana tidak kebingungan.
Kalau nggak kebingungan ngapain?

Kemudian Snow White kebingungan bagaimana bisa dia yang sebelumnya berada di istana yang tidak sepi jadi tidak membuatnya kebingungan tiba-tiba berada di hutan yang sepi yang membuatnya lebih bingung lagi.

Hari sudah semakin sore, Snow White yang tersesat di hutan kebingungan, dia terus berlari.
“Bagaimana ini, hari semakin sore, garis finisnya masih tidak kelihatan…”
Setelah lama dia melihat kotej yang ukurannya kecil, kotej itu sangat kecil sehingga semua perabotannya ditaruh di luar. Disana ada meja yang diatasnya ada 7 piring kecil dengan warna berbeda-beda, ada merah, merah kemerahan, merah kemerah-merahan, merah berbintik merah, merah bergaris merah, putih berlapis merah, dan hitam yang dicat merah. Di atas piring itu hanya ada tepung, tepung, dan tepung.
“Apaan sih ini? Semua piring kok isinya tepung? Nggak ada sendok lagi, adanya sumpit.”
Bagaimanapun juga, karena ia kelaparan semua tepung itu dimakannya (dengan sumpit). Kemudian ia tertidur karena makan puding rasa obat tidur.
Tiba-tiba ada 7 kurcaci yang kelihatannya habis pulang bekerja. Mereka kaget ketika membuka pintu kotejnya.
Kurcaci pertama bertanya, “Siapa yang duduk di kursiku?”, ia bertanya sambil duduk di kursinya.
Kurcaci kedua, “Siapa yang makan di atas piringku?”, ia bertanya sambil kebingungan mencari piringnya.
Kurcaci ketiga, “Siapa yang memakan rotiku?”, ia bertanya sambil makan roti.
Kurcaci keempat, “Siapa yang memakan sayurku?”, ketika ia melihat kurcaci ketiga makan roti ia meralatnya, “Siapa yang memakan rotiku?”
Kurcaci kelima, “Siapa yang menggunakan garpuku?” … “Kapan aku punya garpu?”
Kurcaci keenam, “Siapa yang memotong dengan pisauku?”, ia bertanya sambil menggesek-gesekkan pisaunya ke tangannya, “Aduh!”
Kurcaci ketujuh, “Siapa yang minum menggunakan mugku?” … “Jangan dijawab! Aku tidak bertanya padamu!”
Kemudian ketujuh kurcaci itu tersadar, di dalam kotejnya kan nggak ada apa-apa…
Kayaknya mereka kurang tidur, ketika mereka menuju tempat tidur, mereka kaget.
“Siapa yang habis tidur di tempat tidurku?” Kurcaci pertama bertanya.
“Bukan, bukan aku!” Kurcaci kedua menyangkal.
“Siapa yang bertanya padamu?” Kurcaci ketiga bertanya.
“Bagaimana kamu bisa tahu kurcaci pertama tidak bertanya pada kurcaci kedua?” Kurcaci keempat bertanya.
“Kenapa sampai sekarang aku nggak punya tempat tidur?” Kurcaci kelima bertanya.
“Tempat tidur? Apa itu tempat tidur?” Kurcaci keenam bertanya.
“Hei, ada yang tidur di tempat tidurku!” Kurcaci ketujuh tidak bertanya.
Keenam kurcaci lain melihat tempat tidur kurcaci ketujuh, disana ia melihat ada seorang gadis yang tertidur pulas.
“Lihatlah, cantiknya gadis itu!” Kurcaci pertama berkata.
“Iya, cantik.” Kurcaci kedua mengiyakan.
“He! Ojok mbebek ae kon! (Hai! Jangan mengangsa saja kau!)” Kurcaci ketiga menghardiknas.
“Apa? Aku cantik?” Kurcaci keempat bertanya pertanyaan retoris.
“Kamu bukan gadis yoo…” Kurcaci kelima mengklarifikasi.
“Diam, diam, nanti gadis itu bangun, kasihan dia.” Kurcaci keenam menasehati teman-temannya.
“Aku harus ngomong apa ya?” Kurcaci ketujuh bingung.
Ketujuh kurcaci tersebut kemudian tertidur pulas di kasur masing-masing.
“Hei, aku harus tidur dimana?” Kurcaci ketujuh akhirnya tahu apa yang harus dikatakan.
Esoknya, Snow White terbangun dan kaget melihat kurcaci.
“Hai, aku kaget lho…”
Ketujuh kurcaci tersebut ikutan terbangun.
“Ah”, “rupanya”, “kamu”, “sudah”, “terbangun”, “dari”, “tidurmu.” (kata-kata tersebut diucapkan secara berurutan oleh kurcaci)
“Kalian pemilik kotej ya? Maafkan aku, aku telah memakan semua tepung kalian… Tapi kalian kok makannya tepung?”
1. “Ah itu… Nggak papa… Nggak tahu juga, setelah kami memberikan makanan ternak, menyiram sayuran, atau mengambil hasil panen, warga memberi kami tepung…”
2. “Iya, habis murah kayaknya…”
3. “Baca guide dari mana sih?
4. “Iya, padahal nggak enak…”
5. “Kadang-kadang mereka juga datang siang-siang…”
6. “Minta relaxation tea leaves lagi.”
7. “Iya, budum.”
… Budum?
7. “Ah iya, kok aku bisa ngomong budum ya?”
“Sebenarnya nggak tahu kenapa aku bisa ada di hutan ini, aku nggak tahu jalan pulang. Boleh aku tinggal disini?”
“Asalkan kamu bisa mengurus rumah”, “masak”, “membersihkan tempat tidur”, “cuci baju”, “menjahit”, “menyulam”, “dan membersihkan rumah, kami bisa menerimamu.”
“Ah, aku bisa, tenang saja.”
“Baiklah kalau begitu.” Kurcaci manapun yang ngomong nggak penting.
Esoknya, ketika kurcaci itu pulang dari membantu pertanian warga…
Bukan warga sih, tepatnya seseorang yang memakai topi biru dan tas ransel kuning…
….
Hei, pekerjaan kurcaci itu bertambang tahu!
Sudahlah, ketika mereka pulang mereka melihat rumah mereka (masih) berantakan.
“Snow White! Mengapa semuanya masih berantakan?”
“Hah? Memang dari tadi gitu kok…”
“Bukannya kamu harus membereskan rumah?”
“Hah? Kenapa harus aku?”
“Kan perjanjiannya gitu, kamu harus bersihin rumah untuk tinggal disini…”
“Hah? Bukannya kalian bilang asalkan aku bisa mengurus rumah dan lain-lain? Aku bisa kok, tapi kenapa juga aku harus mengerjakannya untuk kalian?”
“Eee… Bila kau bilang seperti itu benar juga…”
Kemudian kurcaci-kurcaci itu menyesal tidak bisa meralat apa yang telah dituliskan pada cerita ini karena mereka nggak memiliki hak akses administrator.
Dari hutan kita beralih ke istana raja. Ratu senang karena kali ini cermin yang dimilikinya berbahasa Indonesia.
“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
“Terima kasih cermin, kalau yang paling ganteng?”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
“Kok… Kalau yang paling jelek?”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
“… Paling idiot?”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
“Apa maksudnya semua ini?! Ini semua pasti gara-gara Snow White masih hidup dan bersembunyi di hutan! Aku akan membunuhnya sekarang juga!”
Kemarahan ratu sangat memuncak, ia pergi ke rumah penyihir dan mencari cara untuk membunuh Snow White.
“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Ratu mendapatkan cara untuk membunuh Snow White dari penyihir yang ia temui di perempatan dekat pasar. Ia menyamar sebagai pedagang keliling dan menjual kalung ke Snow White.
“Wahai gadis yang cantik, maukah kau membeli kalung ini?”
“Kalung yang cantik sekali ya mama, eh, pedagang keliling. Aku beli deh.”
“Baiklah, akan kukenakan kalung ini ke lehermu.”
Ratu memakaikan kalung itu ke Snow White. Karena ingin membunuhnya, Ratu mencekik leher Snow White dengan itu. Snow White pingsan dan Ratu kabur kembali ke istana.
Snow White terbangun, “Dasar penjual aneh, masa kalung diikatkan ke tangan sih? Ngikatnya keras lagi, untung nggak di leher, bisa bahaya tuh.”
Snow White kemudian kembali ke rumah kurcaci dengan darah mengucur deras dari nadinya.
Ratu kemudian bertanya lagi pada cermin.
“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
“Apa?! Snow White masih hidup!? Kurang ajar! Sekarang pasti akan kubunuh dia!”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek dan menjual sisir beracun ke Snow White.
“Wahai gadis yang berambut bagus, mau sisir?”
“Boleh juga mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir.”
Ratu kemudian menyisir rambut Snow White dengan sisir itu.
Sesaat kemudian Snow White pingsan. Ratu kembali ke istana dengan perasaan senang.
Snow White terbangun, “Dasar nenek, kok yang disisir rambut yang lain sih (yang mana?). Aku sampai pingsan karena geli.”
Snow White kemudian kembali ke rumah kurcaci.
Tunggu, pada adegan tadi rambut bagian mana yang disisir?
Di istana Ratu bertanya lagi pada cermin, tapi sebelumnya ia haus.
“Pelayan, ambilin minum dong!”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
“Apa?! Masih belum mati!? Argh! Sekarang pasti!”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
Pelayan datang tapi ratu keburu pergi.
“Lho, kemana sang ratu?”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek, kali ini jualan apel beracun.
“Mau?”
“SMS sesama operator masih gratis? SMS ke operator lain 100 rupiah? Eh, bukan ya…”
“Duh, jangan iklan dong. Apel nih, mau nggak?”
“Mau dong mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel.”
Snow White kemudian memakan apel itu. Tidak lama kemudian dia pingsan.
“Hahaha, yang ini pasti mujarab. Kembali dulu ah.”
Kali ini berbeda, Snow White tidak bangun-bangun.
Para kurcaci yang baru pulang kaget, mereka kira Snow White mati dan meletakkannya di peti kaca.
Lho, nggak dipastikan dulu? Siapa tahu masih hidup?
“Nggak mau ah, dia cuma ngerepotin mas… Kalau masih hidup beneran gimana? Repot kan? Mas sih enak, cuma jadi narator, ngomong doang.”
… Duh, aku sih pinginnya jadi cermin yang cuma bisa ngomong “Tentu saja anda, wahai ratu.” itu…
Sudah lama Snow White tersimpan di lemari es… Eh bukan ya? Peti kaca ding.
Dia tidak terlihat seperti seseorang yang telah meninggal. Dia tetap seputih salju, semerah darah, dan rambutnya sehitam bingkai jendela itu.

Jangan-jangan bingkai di tempat lain…
Suatu hari pangeran kerajaan tetangga tiba di hutan tempat kurcaci-kurcaci itu, dia kebingungan juga kok bisa tiba-tiba ada disana.
Ia melihat peti kaca Snow White dan tertarik untuk membawanya. Ia membaca tulisan emas di peti itu.
“Dijual cepat, 10 ribu bisa nego.”
Pangeran itu membeli peti Snow White, dengan nego dulu tentunya. Sebenarnya para kurcaci merasa berat dengan kepergian Snow White itu.
“Ya jelas berat, kita disuruh mengangkat peti ini sampai kerajaan. Dasar pangeran pelit.”
Tiba-tiba ditengah jalan peti itu terjatuh karena dibuang oleh para kurcaci.
… Itu sih bukan terjatuh namanya.
“Berat tahu! Kamu kan nggak bayar biaya pengantaran. Udah ah, kami mau pesta teh, musim semi nih!”
“Tunggu dulu! Terus bagaimana aku bisa membawanya?”
Peti yang jatuh itu terbuka dan Snow White terjatuh. Dari mulutnya keluar potongan apel beracun itu.
“Aduh sayang nih!”
Snow White memakan kembali apel itu. Kali ini baru racunnya bekerja, tadi sih Snow White bukan pingsan, tapi tidur.
“Lho kok pingsan lagi?”
Pangeran tersebut menggendong Snow White sampai ke kerajaannya. Sampai di kerajaan, Snow White terbangun.
“Terima kasih tumpangannya.”
“Lho? Jadi kamu tadi tidak pingsan ya?”
“Kenapa aku harus pingsan? Kamu pingin aku pingsan ya?”
Kemudian Snow White pingsan. Ratu kerajaan itu tidak sengaja melihatnya.
“Anakku! Apa yang kau lakukan pada gadis itu? Kamu telah menghamilinya ya?!”
“Apa?! Kalau begitu maafkan aku ibu! Aku akan bertanggung jawab!”
Kemudian Snow White dan pangeran itu akan dinikahkan.
Di lain tempat, ratu yang lain sedang berbicara pada cermin.
“Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?”
“Tentu saja anda, wahai ratu.”
“Apa!? Snow White menikah dengan pangeran kerajaan lain?! Kurang ajar, masih hidup saja dia!”
Ratu pergi ke kerajaan tetangga dengan amarah yang memuncak.
“Tentu saja anda, wahai ratu.”

Sesampainya di kerajaan tetangga, ratu (mama Snow White, tapi bukan manajernya kayak yang di suatu acara TV) melihat pernikahan Snow White dengan pangeran kerajaan itu. Ia mendekati Snow White dan akan mengucapkan mantera kutukan.
“Snow White! Ternyata kau ada di sini!”
“Pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel, eh, Mama?!”
“Snow White… Mama selalu mendoakanmu, nak. Semoga kamu berbahagia dengan pangeran ini.”
“Mama… Terima kasih banyak.”
“Ratu, maafkan aku yang telah lancang menikahi Snow White. Aku telah menghamilinya…”
“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku menunggu cucu pertamaku.”
“Mama?! Jadi mama tidak marah?! Mama memang mamaku yang paling baik!”
“Terima kasih bibi!”
Mereka semua bahagia, termasuk semua warga yang menghadiri pernikahan mereka.
Kalau bisa dibuat bahagia, mengapa memilih ending yang harus-ada-yang-mati?
Dan tidak jauh dari tempat pernikahan itu… Akhirnya… Aku melihat bingkai jendela yang berwarna hitam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar